Selasa, 25 Mei 2010

simpulan singkat periodisasi sastra indonesia

BAB I

PERIODISASI SEJARAH SASTRA INDONESIA MODERN

A. Pengertian Sejarah Sastra

Sejarah atau history merupakan masa lampau umat manusia. Menurut Yuliet Gardiner 1996, secara umum objek penulisan sejarah adalah masa lampau umat manusia dengan segala kegiatannya yang tampak pada bidang politik, ekonomi, social, dan budaya, sedangkan secara khusus objek penelitian sejarah adalah didang-bidang tertentu seperti politik, social, budaya, dan ekonomi. Setiap bidang dapat dibatasi lagi pada objek yang spesifik. Dengan demikian sangat terbuka kemungkinan penulisan sejarah politik, sejarah perekonomian, sejarah kota, sejarah desa, sejarah kebudayaan, sejarah kesenian, sejarah sastra dan lain-lain. (dalam Yudiono, 2007: 25).

Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Prancis.

B. Pengertian Periodisasi

Periodisasi sastra merupakan pembabakan waktu dalam sejarah sastra Indonesia. Periodisasi disusun berdasarkan pergolakan yang terjadi pada saat itu, misalnya periode orde lama, orde baru, dan reformasi. Setiap periode memiliki karakteristik yang berbeda-beda, karena sastra merupakan gambaran kebudayaan masyarakat. Sastra itupun berkembang seiring perkembangan kebudayaan masyarakat.

C. Permasalahan dalam Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia Modern

Permasalahan yang utama dalam periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah umur sejarah sastra Indonesia yang masih relative pendek. Sehingga dalam pembagian periodisasinya sangat berdekatan sekali antar angkatan. Pembagian zaman atau periodisasi sastra Indonesia modern sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan karena belum ada pembabakan waktu yang diterima secara penuh oleh ahli sastra kita. Banyak pembabakan waktu yang pernah ditawarkan dalam pengkajian sejarah sastra Indonesia selalu kembali pada nama-nama angkatan yang bertolak pada usia sastrawan sezaman. Penamaan antar angkatan itu biasanya berdasarkan nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan kita, seperti Balai pustaka, majalah Pujangga Baru, dan majalah Horison.

BAB II

PERIODE SASTRA MASA PERTUMBUHAN (1870-1945)

A. Sastra Masa Awal

Pada masa kejayaan islam di Indonesia merupakan awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Terbukti pada tumbuhnya tradisi penulisan sastra keislaman mulai abad ke-17. Kebanyakan sastra keislaman itu ditulis dalam huruf arab-Melayu atau huruf Jawi. Sedangkan hasilnya berupa kisah tentang para nabi, hikayat tentang Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, hikayat pahlawan-pahlawan islam, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, cerita fiktif, dan cerita mistik serta tasawuf.

Pada abad-abad yang silam sastra klasik atau sastra Nusantara itu belum bercetak pada buku-buku yang rapi, melainkan ditulis pada naskah-naskah lontar, bilah bamboo, kulit kayu, dan kertas dalam jumlah yang sangat terbatas. Kebanyakan naskah-naskah itu tersimpan di daerah pusat kekuasaan seperti istana atau tempat bangsawan.

Pada masa penjajahan Belanda dan Inggris yaitu pada abad ke-20 mulai muncul filolog-filolog Indonesia yang buku sastra klasik. Baru pada tahun 1914 terbitlah roman modern yang berjudul Baruang Ka Nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata.

B. Sastra Balai Pustaka

Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah colonial Belanda dengan keputusan Gubernemen pada 14 September 1907 dan pada 1917 dikukuhkan menjadi Balai Pustaka. Jakob sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia menyatakan bahwa sastra balai Pustaka tidak muincul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan, tetapi diatur dan dimunculkan oleh pemerintah colonial Belanda sehingga penuh dengan syarat-syarat yang terkait dengan maksud tertentu (dalam Yudiono, 2007:69).

Balai Pustaka didirikan dengan tugas menyiapkan buku bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuan menurut tertib dunia dan menjauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintahan dan ketentraman negri. Jelas sekali tujuan itu demi kepentingan pemerintahan colonial Belanda yang mulai khawatir akan maraknya nasionalisme sebagai akibat munculnya pers Bumi Putra yang radikal.

Tokoh-tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat Dr.D.A.Rinkes, Dr.G.W.J.Drewes, Dr.K.A.Hidding, sedangkan sastrawan Indonesia yang bekerja di dalamnya yaitu Adinegoro, S.Takdir Alisjahbana, Armiln Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B.Jasin.

Menurut Jakob Sumardjo, diperoleh gambaran roman-roman balai pustaka memiliki cirri umum sebagai berikut.

1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu.

2. Bersifat romantic-sentimental, karena banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.

3. Bergaya bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka sehingga tidak berkembang gaya bahasa perorangan.

4. Bertema social, karena belum terbuka kesempatanmempersoalkan masalah politik, watak, agama, dan lain-lain.

C. Sastra Pujangga Baru

Poejangga Baroe juga dapat diartikan sebagai gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun 1930-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Efendi, S.Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J.E.Tatengkeng, dan Amir Hamzah. Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Mei 1933, tujuannya tampak pada keterangan resmi yang berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum” kemudian berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi menjadi “pembangun semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia” Rosidi (dalam Yudiono, 2007:78).

Di sisi lain majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, bahkan dikritik keras oleh guru yang setia pada pemerintah colonial Belanda. Kata mereka majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing. Majalah itu bertahan terbit sampai tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa militer Jepang karena dianggap ke barat-baratan dan progresif. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali S.Takdir Alisjahbana.

Apa pun riwayatnya, majalah Pujangga Baru bertahan terbit selama hamper sepuluh tahun (1933-1942) telah berjejak kesuksesan yang patut dibanggakan. Menurut Faruk H.T., majalah tersebut telah member dasar bagi terbentuknya masyarakat sastra dan bahasa Indonesia.

D. Karya-karya Terpilih

1. Azab dan Sengsara Novel Merari Siregar (1896-1940).

2. Belenggu Novel Armijn Pane (1908-1970).

3. Di Bawah Lindungan Kabah Novel Hamka (1908-1981).

4. Layar Terkembang Novel S. Takdir Alisjahbana (1908-1994).

5. Nyai Dasima Novel G.Francis (1860-1915).

6. Salah Asuhan Novel Abdul Muis (1886-1959).

7. Siti Nurbaya Novel Marah Rusli (1889-1968).

8. Student Hijo Novel Mas Marco Kartidikromo (1890-1932).

9. Sukreni Gadis Bali Novel A.A. Pandji Tisna (1908-1976).

BAB III

PERIODE SASTRA “ORDE LAMA” (1945-1965)

A. Sastra Angkatan ‘45

Terjadi perubahan antara sastra angkatan ’45 dengan sastra angkatan Pujangga Baru. Dijelaskan oleh Teeuw bahwa perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat proklamasi. Selama masa pendudukan jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil Anwar, Idrus, Usmar Ismail, Achdiat K, Mihardja, tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh kekuasaan jepang. Baru setelah kemerdekaan dilakukan usaha-usaha menghimpun tenaga dan semangat bersama, tetapi sungguh bukan pekerjaan yang gampang (dalam Yudiono, 2007:116-117).

Jakob Sumardjo juga menggambarkan Proklamasi Kemerdekaan sebagai kejadian yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia itu berpengaruh sekali dalam kegiatan kebudayaan, termasuk kesusastraan. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya sangat terkekang telah memperoleh kebebasan yang senyata-nyatanya. Para sastrawan merasakan kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisinya (dalam Yudiono, 2007:117).

Setelah proklamasi kemerdekaan mulai bermunculan majalah-majalah seperti panca raya, pembangunan, pembaharuan, dan lain-lain. Munculnya penerbitan majalah itu membuka kesempatan munculnya banyak karangan sastra berupa sajak, cerpen, drama pendek, esai, dan terjemahan. Hal tersebut membuktikan besarnya semangat kaum seniman dan budayawan untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan kebudayaan yang tidak kalah pentingnya dengan pembangunan polotik dan militer yang sangat mendesak pada saat itu.

B. Sastra Angkatan ’50-an Sampai ’60-an

Pada tahun 1950 muncul Surat Kepercayaan Gelanggang. Dalam surat merupakan pernyataan para seniman dan budayawan yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Basuku Resobowo, dan lain-lain. Surat kepercayaan gelanggangb itu kurang lebih berisikan mengenai pernyataan untuk revolusi nilai-nilai baru di Indonesia dan usaha mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Surat kepercayaan Gelanggang kemungkinan dikeluarkan sebagai reaksi terhadapa munculnya Lekra. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada humanism universal sedangkan Lekra hendak melaksanakan realism sosialis yang bersumber pada kominisme. Lekra yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat berdiri pada tahun 1950 pada tanggal 17 Agustus di tangan tokoh-tokoh PKI seperti D.N. Aidit, Njoto, dan M.S. Ashar. Walau dibalik organisasi itu adalah PKI tapi namanya tidak berpredikat komunis, tapi sebagai organ PKI tentu saja Lekra memperjuangkan komunisme yang berasal dari Marxisme-Lininisme yang telah lama dianut Rusia dan Cina. Lekra bersemboyan bahwa “politik adalah panglima” sehingga segala kegiatan kesenian harus didasari pada polotik dan ideology partai. Lekra banyak m,engeluarkan buku-buku kumpulan sajak dan cerpen yang banyak menarik minat pengarang. Cara lain yang dilakukan Lekra untuk menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan pandangan dan politiknya. Kasus lain dengan isu plagiat dan Lekra menuntut untuk melarang keluarnya karya sastra yang dianggap plagiat dari karya-karya yang diterbitkan Lekra. Lekra serta karya-karya yang diterbitkannya akhirnya dinyatakan terlarang setelah terjadi tragedi politik pada 30 September 1965.

Majalah Kisah muncul mulai Juli 1953 dan merupakan majalah sastra pertama kali yang mengutamakan cerita pendek. Semangat Majalah Kisah adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kemudian terbit pula Majalah Prosa (1955), Seni (1955), Budaya (1953-1962), Konfrontasi (1954-1962), dan Kompas (1951-1955). Semua itu merupakan ajang kreatifitas para pengarang yang terus bermunculan. Di antara mereka terbuktu menjadi pengarang-pengarang terkemuka seperti A.A. Navis, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang, Motinggo Busye, Nh. Dini, Sitor Situmorang, Subagyo Sastrowardoyo, dan Rendra.

C. Masa Impasse/Kekosongan Karya Sastra

Masa awal proklamasi kemerdekaan keadaan bangsa Indonesia belum tertata secara kondisif, ditambah lagi dengan munculnya Lekra dan Surat Kepercayaan Gelanggang yang berbeda pandangan dan terdapat konfrontasi. Gejala ini merupakan awal pergolakan yang terjadi dalam masyarakat sastra Indonesia karena timbulnya pergolakan politik di tengah kehidupan social ekonomi yang masih semrawut setelah pendudukan jepang serta perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Kesulitan ekonomi yang meluas ke berbagai bidang menjadi penyebab krisis penerbitan pada Balai Pustaka yang kedudukannya pada saat itu tidak menentu. Penerbit Pustaka Rakyat, pembangunan, dan Tinta Mas juga mengalami krisis akibat revolusi. Pada masa itu yang marak adalah penerbitan majalah, sampai-sampai masa ini dikenal dengan masa krisis karya sastra Indonesia. Namun pada masa yang sulit itu tetap muncul sejumlah pengarang yang patut dihargai prestasinya seperti Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Harijadi S, Mohamad Ali, Trisno Sumardjo, Mochtar Lubis, dan Rustam Sutiasumarga.

D. Sastra dan Politik Era Tahun 60-an

Pada 5 Juli 1959 Dekrit Presiden menegaskan pembubaran Konstituante dan kembali pada UUD 1945. Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) menetapkan manipol sebagai GBHN dengan lima masalah pokok, yaitu UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian Indonesia. Situasi ini makin menguntungkan Lekra untuk bersikap agresif terhadap lawan politiknya dengan polemic yang keras di Koran dan majalah keluaran mereka seperti Zaman Baru, Bintang Timur, dan Harian Rakyat.

Polemic itu mendorong para seniman dan budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra mendapat barisan dalam majalah sastra pimpinan H.B. Jasin yang terbit pada Mei 1961. Dibawah pimpinan H.B. Jasin para seniman ini mencoba bertahan pada konsep seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas kelompok Lekra. Puncak pertahanan konsep itu adalah dengan lahirnya deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963. Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan mendapat dukungan dari berbagai pihak yang merasa terdesak oleh kelompok Lekra.

Akan tetapi di sisi lain menjadi alasan yang kuat bagi kelompok Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang bersebrangan paham. Manifest Kebudayaan dituduh anti-manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Karena kelompok Lekra yang semakin kuat kedudukan politisnya, maka pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Pelarangan Manifes Kebudayaan membuat para pendukungnya berantakan dan tertutuplah hamper semua kegiatannya, bahkan banyak yang dipecat dari jabatan dinasnya. Kemudian diikuti pula tindakan politis yang semakin memojokkan orang Manifes, yaitu pelarangan buku-buku karya pengarang di bawah barisan Manifes, apa pun isinya dan kapan pun penulisannya.

Kemudian terjadilah Gerakan 30 September 1965 yang didalangi PKI. Gerakan itu berupa kudeta dengan melakukan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal TNI yang merupakan tokoh-tokoh pimpinan nasional. Untung dalam tempo yang singkat gerakan itu dapat di tumpas oleh TNI di bawah pimpinan Letjen Soeharto. Kemudian terjadilah penangkapan dan penahanan orang-orang PKI, sehingga hancurlah PKI beserta ormas-ormasnya termasuk Lekra. Tidak lama kemudian buku-byku mereka pun dinyatakan terlarang. Tercatat terdapat 60 buku yang dibekukan, termasuk sebagian karya Pramoedya Ananta Toer.

E. Karya-karya Terpilih

1. Atheis Novel Achdiat K. Mihardja.

2. Balada Orang-Orang Tercinta Kumpulan Sajak Rendra.

3. Bukan Pasar Malam Novel Pramoedya Ananta Toer (1925-2006).

4. Di Tengah Keluarga Kumpulan Cerpen Ajip Rosidi.

5. Hati yang Damai Novel Nh. Dini.

6. Jalan Tak Ada Ujung Novel Mochtar Lubis (1922-2004).

7. Kemarau Novel A.A. Navis (1924-2003).

8. Priangan si Jelita Kumpulan Sajak Ramadhan K.H (1927-2006).

9. Pulang Novel Toha Mohtar (1926-1992).

10. Tirani dan Benteng Kumpulan Sajak Taufik Ismail.

BAB IV

PERIODE SASTRA “ORDE BARU” (1965-1998)

A. Sastra Generasi Horison

Majalah Horison terbit pada bulan Juli 1966 di bawah pimpinan Mochtar Lubis. Penerbitnya adalah yayasan Indonesia yang didirikan pada 31 Mei 1966. Visi majalah Horison adalah mengembalikan krisis budaya yang telah terjadi selama belasan tahun dengan harapan tumbuhnya semangat baru untuk memperjuangkan demokrasi dan semangat m,anusia Indonesia. Majalah Horison mengutamakan sastra berupa cerpen, sajak, kritik sastra, dan esai.

Majalah ini banyak memperoleh sambutang hangat dari para pengarang baik yang sudah terkenal maupun yang baru memuali karirnya.

Di luar majalah Horison juga mulai terbit kembali Koran-koran yang pernah dilarang terbit, seperti Merdeka, Indonesia Raya, Kompas, Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, dan Suara Karya.

Artikel penting pada masa terbitnya Horison adalah deklarasi angkatan 66 oleh H.B. Jassin yang dimuat pada Horison Nomor 2, Agustus 1966, dengan judul “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Hal ini kemudia menjadi polemic pada masa itu dengan munculnya angkatan 66 menurut H.B. Jassin. Menurut Jassin diperoleh penjelasan bahwa Angkatan 66 terlahir dari pergolakan politik di masyarakat sehingga kehadirannya adalah suatu perostiwa politik yang anti-tirani, menggerakan keadilan dan kebenaran (dalam Yudiono, 2007:169).

Mulai November 1996 Horison mengeluarkan sisipan kaki langit, lembaran khusus untuk siswa Sekolah Menengah Umum, Madrasah Aliyah, dan pesantren seluruh Indonesia dengan tujuan meningkatkan apresiasi sastra di kalangan remaja terpelajar. Dengan sisipan kaki langit itu Horison yang dulu hanya tercetak 3000 eksemplar, pada tahun 1997 telah melejit menjadi 12.500 eksemplar. Pendek kata majalah Horison yang dapat bertahan sampai sekarang ini meninggalkan jejak sejarah pada sejarah sastra Indonesia.

B. Pertumbuhan Dewan Kesenian sebagai Pusat Kegiatan Bersastra

Pada 3 Juni 1968 diresmikan Dewan Kesenian yang berpusat di Jakarta, sehingga disebut Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ diresmikan oleh Gubernur Jakarta pada saat itu yaitu Ali Sadikin. Tujuannya adalah merumuskan konsep pembangunan budaya yang member ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.

Untuk menampung kegiatan seniman dibangun Pusat Kesenian Jakarta bernama Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diresmikan pada 10 November 1968. Di samping itu didirikan Akademi Jakarta yang diresmikan pada tahun 1970, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

DKJ adalah lembaga atau organisasi kesenian yang tugasnya antara lain, (1)menyampaikan usulan program pengembangan kesenian, (2)memantau perkembangan kehidupan kesenian, (3)mengevaluasi pelaksanaan program tahunan, (4)dan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain.

Tokoh-yokoh yang pernah memimpin DKJ hingga tahun 1990-an tercatat Trismo Sumardjo (1968-1969), Umar Kayam (1969-1972), Ajip Rosidi (1973-1981), Salim Said, Sulebar M. Sukarman, dan N. Riantiarno.

Akademi Jakarta merupakan lembaga kehormatan di bidang kesenian. Tugas pokmoknya antara lain, (1)memilih calon anggota DKJ, (2)memantau perkembangan kesenian, (3)dan memberikan Anugerah Seni. TIM merupakan perangkat pelaksana yang bertugas mengaktualisasikan berbagai kegiatan kesenian. Pada perkembangan selanjutnya nama TIM lebih popular di masyarakat luas. Beberapa kegiatan sastra yang tercatat pada awal berdirinya TIM antara lain Pertemuan Sastrawan (1972,1974), Penyair Muda di Depan Forum (1976), dan Sayembara Penulisan Roman dan Drama yang telah berlangsung dari tahun ke tahun. Peranan DKJ semakin penting pada awal tahun 1980-an sebagai model pembentukan dewan kesenian di sejumlah provinsi seperti di Malang dan Makasar.

C. Pertumbuhan Sastra Populer dan Sastra Media Massa

Majalah Horison, Sastra, Pusat Bahasa, Fakultas Sastra, dan DKJ mengisyaratkan lingkungan yang resmi untuk kegiatan bersastra yang meliputi penciptaan, penelitian dan pengembangan, sedangkan di luar lingkungan tersebut juga berkembang pesat penciptaan sastra yang kemudian disebut sastra popular. Sastra popular berkembang sejalan dengan maraknya penerbitan Koran dan majalah umum di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang. Hamper semua penerbit menyediakan rubric sastra dan budaya yang setiap minggu menampilkan sajak, cerpen, kritik, esai, dan cerita bersambung. Wajarlah apabila perhatian pengarang pada saat itu sudah tidak lagi terpusat pada Horison. Berkembanglah jalur sastra Koran yang kemudian memantapkan kedudukan sastra popular.

Menurut Jakob Sumardjo, sastra popular yang berkonotasi hiburan dan barang dagangan sudah tumbuh di bumi Indonesia pada masa jaya Balai Pustaka tahun 1920-an, bahkan beberapa puluh tahun sebelumnya, yaitu dalam tradisi sastra Melayu Rendah dan sastra Melayu Cina. Pada masa Jaya Balai Pustaka tahun 1930-an sast6ra popular itu disebut juga sastra picisan. Perkembangannya marak di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, da Surabaya (dalam Yudiono, 2007:223).

Pengamata Jakob Sumardjo terhadap dunia Novel popular decade 1970-an membuahkan catatan sebagai berikut.

1. Decade 70-an ditandai dengan munculnya begitu banyak penulis wanita, suatu fenomena yang belum pernah dialami sejarah kesusastraan Indonesia sebelumnya. Bukan hanya jumlah mereka banyak tetapi juga karya mereka terus mengalir sehingga terjadi boom novel yang ditulis kaum wanita.

2. Novel popular tidak lagi dibaca secara sembunyi-sembunyi dan rasa malu dan tidak lagi dituduh sebagai bacaan porno seperti decade-dekade sebelumnya. Meskipun masih berkisar pada kisah syik masuk remaja, novel-novel masa itu lebih terbuka, terhormat, sopan dan malah bersifat sedikit elit. Tema cinta kasih yang murni, lembut dan halus banyak digarap novelis-novelis decade ini.

3. Novel-novel popular mutakhir jauh lebih teknik ceritanya, berbobot sastra yang agak lumayan disbanding dengan decade sebelumnya. Bahkan novel-novel pada masa itu jauh lebih tebal, berplot kompleks, disisipi penjelajahan pengetahuan yang luas, dan mengandung intelektualisme.

4. Novel popular masa itu meletakkan dasar adanya bacaan popular berbobot yang tidak mengejar factor pencarian, pembaharuan dan keaslian seperti yang dikejar oleh kesusastraan. Hanya masih terbatas pada jenis romance yang serba manis, sedangkan jenis popular yang lain seperti detektif, misteri atau sejarah belum berkembang.

5. Ada kecenderungan protes social dalam novel-novel popular yang ditulis oleh lelaki. Pada novel-novel Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, Remy Shilado, Yudhis, Teguh Esha, ada semacam pemberontakan anak-anak muda terhadap orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab.

(dalam Yudiono,2007:225-226).

Walau bagaimana pun sastra popular memiliki andil yang besar dalam menambah keanekaragaman kesusastraan Indonesia. Sastra popular semakin berkembang dan sebagian sastra popular sudah tidak lagi dianggap sastra yang rendah karena banyak dari sastra tersebut memiliki kualitas yang baik.

D. Politik Bahasa Nasional

Pada 3 November 1966 dibentuk direktorat bahasa dan kesusastraan, kemudian pada 27 Mei 1969 diubah menjadi lembaga bahasa nasional, pada 1 April 1975 menjadi pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, dan sejak 24 Januari 2000 menjadi pusat bahasa. fungsinya adalah merumuskan kebijakan menteri dan kebijakan teknis di bidang penelitian dan pengembangan bahasa, melaksanakan penelitian dan pengembangan bahasa serta membina unit pelaksana teknis di daerah.

Pusat Bahasa dapat melaksanakan sejumlah kegiatan penting seperti seminar, diskusi, penataran, pelatihan, dan penerbitan. Ketika bernama Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (1959-1966) telah melaksanakan sejumlah kegiatan penting yaitu membentuk panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia di bawah pimpinan Drs. Anton M. Moeliono yang berhasil merumuskan konsep ejaan baru bahasa Indonesia. Kemudian pada hari Sumpah Pemuda yang ke-36 tahun 1966 berhasil menyelenggarakan symposium bahasa dan kesusastraan.

Kegiatan penting salah satunya Kongres Bahasa Indonesia III-IV yang telah menghasilkan berbagai pemikiran tentang pengembangan bahasa dan sastra Indonesia di Jakarta pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, 1998, 2003. Di setiap kongres dibahas berbagai makalah kebahasaan dan kesastraan yang rumusan-rumusannya merupakan rujukan penting bagi program pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan lain di bidang sastra adalah penataran sastra I-IV (September 1978-Oktober 1980). Selama kurun waktu itu banyak diambil kebijakan dan keputusan untuk memajukan bahasa Nasional pada umumnya dan memajukan kebahasaan serta kesastraan Indonesia pada khususnya.

E. Karya-karya Terpilih

1. Adam Makrifat Kumpulan Cerpen Danarto.

2. Bila Malam Bertambah Malam Novel Putu Wijaya.

3. Burung-Burung Manyar Novel Y.B. Mangunwijaya (1929-1999).

4. Duka-Mu Abadi Kumpulan Sajak Sapardi Djoko Damono.

5. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati Novel Nasjah Djamin (1924-1997).

6. Kado Istimewa Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1992.

7. Orang-Orang Bloomington Kumpulan Cerpen Budi Darma.

8. Pada Sebuah Kapal Novel Nh. Dini.

9. Ronggeng Dukuh Paruk Novel Ahmad Tohari.

10. Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya Kumpulan Cerpen Umar Kayam (1932-2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar